Aliran Filsafat Pendidikan:
Perennial-esensial Salafi,
Perennial-esensial Mazhabi, Modernis, Perennial-esensialis
kontekstual-falsifikatif, Rekonstruksi-sosial.
Disusun untuk memenuhi
tugas Mata kuliah
Filsafat Pendidikan
Islam
Bersama:
DR. M. Miftahul
Ulum, M. Ag
Oleh:
Retno Styaningrum, S.Si
NIM. 13160003
MAGISTER
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCA
SARJANA
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PONOROGO
2014
Aliran
Filsafat Pendidikan:
Perennial-esensial
Salafi, Perennial-esensial Mazhabi, Modernis, Perennial-esensialis
kontekstual-falsifikatif, Rekonstruksi-sosial.
Oleh : Retno
Styaningrum
A.
Pendahuluan
Dalam pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, terdapat
beberapa alur pemikiran dalam menjawab persoalan pendidikan. Seperti terdapat
beberapa kelompok yang berusaha membangun konsep (filosofis) pendidikan Islam
melalui Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama, selain itu juga
mempertimbangkan kata sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan
sosial, dan ada pula yang menerima setiap perubahan dan perkembangan budaya baru yang dihadapinya
untuk ditransformasikan menjadi budaya
yang Islami.
Berdasarkan beberapa alur pemikiran pendidikan Islam
tersebut masih memungkinkan adanya corak atau aliran pemikiran yang lain.
Berikut akan disajikan beberapa aliran pemikiran filsafat pendidikan Islam.
B.
Aliran Filsafat Pendidikan Islam
Pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam dapat
dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang di belahan dunia Islam pada
periode modern ini, terutama dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas.
Sehubungan dengan itu Abdullah (1996) dalam Muhaimin (2004) mencermati adanya empat
model pemikiran keIslaman, yaitu Model Tekstualis Salafi, Model Tradisionalis
Mazhabi, Model Modernis, dan Model Neo Modernis.
Model pertama (Tekstualis Salafi) berupaya
memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an
dan al sunnah al-sahihah dengan melepaskan diri dari dan kurang begitu
mempertimbangkan situasi kongkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era
klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang
diidam-idamkan adalah masyarakat salaf, yakni struktur masyarakat era kenabian
Muhammad saw dan para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama pemikirannya adalah
kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab hadis, tanpa menggunakan pendekatan
keilmuan yang lain. Dengan kata lain, model yang pertama ini sangat
mementingkan dalil-dalil nash ayat-ayat al-Qur’an dan al-hadis.
Model pertama ini berusaha menjadikan nash (ayat-ayat
al-Qur’an dan al-sunnah) dengan tanpa menggunakan pendekatan keilmuan lain, dan
menjadikan masyarakat salaf sebagai parameter untuk menjawab tantangan dan
perubahan zaman serta era modernitas. Hal ini menunjukkan bahwa model
tekstualis salafi lebih bersikap regresif dan konservatif.
Dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan, terdapat dua
mazhab yang lebih dekat dengan model tekstualis salafi, yaitu perenialism
dan essensialism, terutama dilihat dari wataknya yang regresif dan
konservatif. Hanya saja perenialism menghendaki agar kembali kepada jiwa yang
menguasai abad pertengahan, sedangkan model tekstualis salafi menghendaki agar
kembali ke masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat). Tetapi pada intinya
keduanya lebih berwatak regresif. Adapun essensialism menghendaki pendidikan
yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam
kebudayaan, dan nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui
sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu. Model tekstualis salafi juga
beranggapan bahwa nilai-nilai kehidupan pada masyarakat salaf perlu dijunjung
tinggi dan dilestarikan keberadaannya hingga sekarang, baik nilai-nilai
insaniyah maupun nilai-nilai Ilahiyah, karena masyarakat salaf dipandang
sebagai masyarakat yang ideal. Karena itu keduanya juga bersifat konservatif,
dalam arti sama-sama hendak mempertahankan nilai, kebiasaan dan tradisi
masyarakat tedahulu.
Model kedua (Tradisionalis Mazhabi) berupaya
memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur’an
dan al-sunnah al shahihah melaluia bantuan khazanah pemikiran Islam klasik,
namun seringkali kurang begitu mempertimbangkan situasi sosio-historis
masyarakat setempat dimana ia turut hidup didalamnya. Hasil pemikiran ulama
terdahulu dianggap sudah pastiatau absolut tanpa mempertimbangkan dimensi
historisitasnya. Masyarakat muslim yang diidealkan adalah masyarakat muslim era
klasik, dimana semua persoalan keagamaan dianggap telah dikupas habis oleh para
ulama atau cendekiawan muslim terdahulu. Pola pikirnya selalu bertumpu pada
hasil ijtihad ulama terdahulu dalam menyelesaikan persoalan ketuhanan,
kemanusiaan dan kemasyarakatan pada umumnya. Kitab kuning menjadi rujukan
pokok, dan sulit untuk keluar dari mazhab atau pemikiran keIslaman yang terbentuk
beberapa abad yang lalu.
Model Tradisionalis Mazhabi ini lebih menonjolkan
wataknya yang tradisional dan mazhabi. Watak tradisionalnya diwujudkan dalam
bentuk sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada
nilai, norma, dan adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara turun
temurun dan tidak mudah terpengaruh oleh sosio-historis masyarakat yang telah
berkembang. Sedangkan watak mazhabinya diwujudkan dalam bentuk kecenderungannya
untuk mengikuti aliran/pemahaman sebelumnya yang dianggap sudah relatif mapan.
Model ketiga (Modernis) berupaya memahami
ajaran-ajaran dan nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan as Sunnah
dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis dan kultural yang dihadapi
oleh masyarakat muslim kontemporer (era iptek dan modernitas pada umumnya),
tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual muslim era klasik
yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan (Muhaimin, 2004:53).
Model ini lebih bersifat ingin langsung memasuki
teknologi modern tanpa mempertimbangkan khazanah intelektual muslim dan
bangunan budaya masyarakat muslim yang telah terbentuk selama berabad-abad.
Model ke empat (Neo-Modernis) berupaya memahami
ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan as
Sunnah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim
klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang
ditawarkan oleh dunia teknologi modern.
Jadi model keempat ini merupakan kebalikan dari model
ketiga yaitu selalu mempertimbangkan Al-Qur’an dan as Sunnah, khazanah
pemikiran islam klasik, serta pendekatan-pendekatan keilmuan yang muncul pada abad
19 dan 20. Tipologi ini memerlukan adanya pemikir, pemerhati dan pengembang
pendidikan Islam untuk mendudukkan pemikiran dan pengembangan pendidikan yang
dilakukan pada era kenabian dan sahabat serta oleh para ulama terdahulu (pasca
salafi) sebagai pengalaman mereka dalam konteks ruang dan zamannya, untuk
selanjutnya perlu dilakukan uji falsifikasi, agar ditemukan relevan atau
tidaknya dengan konteks sekarang dan yang akan datang. Hal-hal yang relevan
akan dilestarikan, sebaliknya hal-hal yang dianggap kurang relevan akan
decarikan alternatif lain atau dilakukan
rekonstruksi tertentu dalam konteks pendidikan masyarakat muslim
kontemporer. Tipologi ini dikategorikan sebagai tipologi perenial-esensial
kontekstual falsifikasi.
Tipologi ini lebih bersifat kritis karena adanya upaya
kontekstualisasi dan falsifikasi, dan lebih bersifat komprehensif dan
integratif dalam membangun kerangka filsafat pendidikan Islam.
Beberapa tipologi yang telah diuraiakan agaknya masih
lebih mengembangkan wawasan kependidikan Islam masa lalu dan sekarang, dan
kurang menyentuh wawasan antisipasi masa depan. Perenial-esensial salafi
dan perenial esensial mazhabi lebih menonjolkan wawasan kependidikan
islam masa lalu, Modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam
masa sekarang, sedangkan perenial esensial kontekstual falsifikatif
mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan
kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan kependidikan
Islam masa sekarang selaras dengan tutntutan zaman.
Di lain pihak, terdapat filsafat pendidikan yang hendak
mengembangkan wawasan antisipasi masa depan, yang dikembangkan oleh Muhajir
(2000) dalam Muhaimin (2004) sebagai Rekonstruksi Sosial. Hal ini
didasarkan pada pemikiran bahwa manusia adalah konstruktivist, bahkan konstruktivist
sosial. Pada era post modern dengan ciri percepatan perubahan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan perubahan infrastruktur sosial serta perkembangan
tuntutan dunia kerja menjadi semakin penting memerlukan persiapan lebih intens.
Dan yang lebih esensial lagi semua percepatan, perkembangan dan tuntutan
tersebut semakin banyak yang tak terduga dan semakin eksponensial. Karena itu
pendidikan bukan lagi sebatas pembekalan kemampuan menjadi konstruktivist
sosial, melainkan membekalkan agar secara berkelanjutan mampu mengadakan
rekonstruksi sosial.
Filsafat pendidikan ini berangkat dari bottom-up
yang dibangun dari grass root, dalam pluralisme, dan dalam
konteks mengejar keunggulan. Berbeda halnya dengan rekonstruksi sosial tahun
1970-an yang top down dan lebih berorientasi ke teknis planning.
Dalam pemikiran pendidikan tipologi ini lebih bersifat proaktif dan
antisipatif. Dikatakan proaktif, karena ia berusaha untuk mencari
jawaban dan sekaligus memperkirakan perkembangan ke depan atas situasi dan
kondisi serta permasalahan yang ada. Dikatakan antisipatif, karena ia
berusaha mengkondisikan situasi, kondisi dan faktor menjadi lebih ideal,
sehingga permasalahan yang ada akan dipecahkan ke perubahan yang lebih ideal.
Tipologi
pemikiran (filsafat) pendidikan Islam
menurut Muhaimin (2004):
No
|
Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam
|
Parameter
|
Ciri-Ciri Pemikirannya
|
Fungsi Pendidikan Islam
|
1.
|
Perennial-esensialis salafi
|
§ Bersumber dari al-qur’an dan al-sunnah
§ regresif masa salaf
§ konservatif (mempertahankan dan
melestarikan nilai-nilai era salafi)
§ wawasan kependidikan Islam yang
berorientasi masa silam (era salaf)
§
|
§ Menjawab persoalan pendidikan Islam
dalam konteks wacana salafi
§ Memahami nash dengan kembali ke salafi
secara tektual
§ Pemahaman ayat dengan ayat lain, ayat
dengan hadis, hadis dengan hadis dan kurang adanya pengembangan dan elaborasi
|
§ Melstarikan dan mempertahankan nilai dan budaya
masyarakat salaf, karena ia dipandang sebagai masyarakat ideal.
§ Pengembangan potensi dan interaksinya
dengan nilai dan budaya masyarakat era salaf.
|
2.
|
Perennial-esensialis Mazhabi
|
§ Bersumber dari al-qur’an dan al-sunnah
§ Regresif ke masa pasca salaf/klasik
§ Konservatif (mempertahankan dan
melestarikan nili-nilai dan pemikiran para pendahulunya secara turun temurun)
|
§ Menekankan pada pemberian syarh dan
hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya
§ Kurang ada keberanian mengkritisi stau
mengubah substansi materi pemikiran para pendahulunya
|
§ Melestarikan dan mempertahankan nilai
dan budaya serta trsdisi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
§ Pengembangan potensi dan interaksinya
dengan nilai dan budaya masyarakat terdahulu.
|
3.
|
Modernis
|
§ Mengikuti aliran, pemahaman dan
pemikiran terdahulu hyang dianggap mapan.
§ Wawasan kependidikan Islam yang
tradisional dan berorientasi masa silam
§ bersumber dari al-qur’an dan al-sunnah
§ bebas modikatif tapi terikat oleh
nilai-nilai kebenaran universal (Allah)
§ progresif dan dinamis dalam menghadapi
dan merespon tuntutan dan kebutuhan lingkungannya
§ wawasan kependidikan kontemporer
|
§ tidak berkepentingan untuk
mempertahankan dan melestarikan pemikiran dan system pendidikan para
pendahulunya.
§ Lapangdada dalam menerima dan
mendengarkan pemikiran pendidikan dari manapun dan siapapun untuk kemajuan
pendidikan Islam.
§ Selalu menyesuaikan dan melakukan
penyesuaian kembali pendidikan Islam dengan tuntutan perubahan sosial dan
perkembangan iptek
|
§ Pengembangan potensi individu secara
optimal.
§ Interaksi potensi dengan tuntutan dan
kebutuhan lingkungannya.
§ Rekontruksi pengalaman yang
terus-menerus agar dapat berbuat sesuatu yang intelegen dan mampu melakukan
penyesuaian dan penyesuaian kembali dengan tuntutan dan kebutuhan
lingkungannya.
|
4.
|
Perennial-esensialis-kontekstual-falsifikatif
|
§ Bersumber dari al-qur’an dan al-sunnah
§ Regresif dan konservatif dengan
melakukan kontekstualisasi dan uji falsifikasi.
§ Rekonstruktif yang kurang radikal
§ Wawasan kependidikan Islam yang
concern terhadap kesinambungan pemikiran pendidikan Islam dlam merespon
tuntutan perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada.
|
§ Menghargai pemikiran pendidikan Islam
yang berkembang pada era salaf, klasik dan era pertengahan
§ Mendudukkan pemikiran pendidikan Islam
era salaf dan klasik serta pertengahan dalam konteks ruang dan zamannya untuk
difalsifikasi.
§ Rekontruksi pemikiran pendidikan Islam
terdahulu yang dianggap kurang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan era
kontemporer.
|
§ Pengembangan era potensi
§ Interaksi potensi dengan tuntutan dan
kebutuhan lingkungannya.
§ Melestarikan nilai-nilai Ilahiyah dan
insaniyah sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan iptek
dan perubahan sosial yang ada.
|
5.
|
Rekonstruksi Sosial
|
§ bersumber dari al-qur’an dan al-sunnah
§ progresif dan dinamis
§ rekonstruksi sosial berkelanjutan yang
dibangun dari bottom up, grass root dan pluralism
§ wawasan kependidikan Islam yang
proaktif dan antisipatif dalam menghadapi percepatan perkembangan iptek,
tuntutan perubahan yang tak terduga dan eksponensial, atau berorientasi pada
masa depan
|
§ Tidak menampilkan konstruk tertentu
yang closed-ended, tapi konstruk yang terus dikembangkan bolak balik antara
empiri dan konsep teori
§ Rekonstruksi sosial dikembangkan
post-paradigmatik atau paradigmanya terus dikembangkan.
§ Komitmen terhadap perkembangan
kreativitas yang berkelanjutan.
§ Dalam menghadapi keragaman budaya,
moral hidup ditampilkan dalam a fair justice dan mampu membuat overlapping
concensus tata nilai
|
§ Menumbuhkan kreatifitas peserta didik
secra berkelanjutan.
§ Memperkaya khazanah budaya manusia,
memperkaya isi nilai-nilai insane dan ilahi
§ Menyiapkan tenaga kerja produktif
serta mengantisipasi masa depan atau member corak struktur kerja masa depan.
§ Ketiga fungsi tersebut intinya untuk
mengembangkan manusia agar menjadi cakap atau kreatif untuk selanjutnya mampu
bertanggungjawab terhadap pengambangan masyarakatnya.
|
Dari kelima tipologi tersebut diatas, dapat ditegaskan
bahwa pada masing-masing tipologi terdapat titik temu dalam aspek rujukan utama
mereka kepada fakta-fakta, informasi, pengetahuan serta ide-ide dan nilai-nilai
esensial yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur’an dan As Sunnah. Perbedaan
dari masing-masing tipologi tersebut terletak pada tekanannya dalam
pengembangan wawasan kependidikan Islam dari rujukan utama tersebut.
C.
Kesimpulan
Tipologi perenial-esensialis salafi lebih
menonjolkan wawasan kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan Islam
berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai Ilahiyah
dan insaniyah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan
sahabat), karena mereka dianggap masyarakat yang ideal.
Tipologi Perenial-esensial mazhabi lebih
menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisioanal dan berkecenderungan
untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran
sebelumnya yang dianggap sudah relatif mapan. Pendidikan Islam berfungsi untuk
melestarikan dan mempertahankannya serta mengembangkannya melalui
upaya-upaya pemberian syarh dan hasyiyah,serta
kurang ada keberanian untuk mengubah substansi materi pemikiran pendahulunya.
Dengan kata lain, pendidikan Islam lebih berfungsi sebagai upaya mempertahankan
dan mewariskan nilai, tradisi dan budaya dari generasi ke generasi berikutnya
tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan konteks perkembangan zaman dan era
kontemporer yang dihadapinya.
Tipologi modernis lebih menonjolkan wawasan
kependidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam
menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga
kependidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman
yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu
mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
Tipologi perenial-esensial kontekstual falsifikatif
mengambil jalan tengah antara kembali ke mas lalu dengan jalan melakukan
kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan
kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada. Fungsi pendidikan Islam
adalah sebagai upaya mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai (Ilahiyah dan
Insaniyah) dan sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada.
Sedangkan tipologi rekonstruktif sosial lebih
menonjolkan sikap proaktif dan antisipatifnya, sehingga tugas pendidikan adalah
membantu agar manusia menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggungjawab
terhadap pengembangan masyarakatnya. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut,
maka fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya menumbuhkan kreativitas
peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nili
insani dan Ilahi, serta menyiapkan tenaga kerja produktif. Penyiapan
tenaga produktif ini setidak-tidaknya mengandung dua makna, yaitu: (1) kerja
produktif tidak hanya dalam arti ekonomik saja, melainkan juga dalam arti
sosial , cultural dan lain-lain; dan (2) mengantisipasi masa depan, sehingga
masa depan member corak struktur kerja masa depan.
Referensi
:
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam,
Surabaya, Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat: 2004.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam,
Surabaya, Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat: 2004 : hal 50